Pada 1500-an, kekuasaan terbagi di
Jepang karena perang antara bangsawan feudal (daimyo) yang bersaing selama satu
abad. Perang itu berakhir dengan penyatuan Jepang oleh Oda Nobunaga dan
Toyotomi Hideyoshi dan akhirnya Tokugawa Ieyasu membentuk Shogunate Jepang. Era
pemerintahan tersebut berlangsung lebih dari 250 tahun sejak berdiri pada 1603
dan juga dikenal dengan era Tokugawa. Ieyasu mengkonsolidasi kekuasaannya
melalui berbagai perubahan sosial termasuk sistem kelas yang ketat dan kontrol
terhadap keluarga daimyu dari ibu kota Edo (sekarang Tokyo).
Di era ini, Jepang menunjukkan
pengasingan dan isolasi dari internasional. Prasangka terhadap intervensi dan
kolonialisme luar menyebabkan rezim Tokugawa melarang masuk para misionaris
atau pembawa ajaran Kristen dan bahkan dikabarkan melarang total agama Kristen
di Jepang. Sebab, di awal era Tokugawa terdapat sekitar 300.000 umat Kristen di
Jepang. Setelah penindasan brutal Shogunae terhadap pemberontakan Kristiani di
Shimabara Peninsula pada 1637-1638, agama Kristen bisa ditekan. Keyakinan yang
dominan di era Tokugawa adalah Confucianism, agama yang relatif konservatif
dengan penekanan kuat pada kesetiaan dan tanggung jawab. Dalam usaha menutupi
Jepang dari pengaruh luar yang berbahaya, Tokugawa shogunate juga melarang
perdagangan dengan negara Barat dan mencegah pedagang keluar.
Jepang
menutup diri dari kebanyakan negara-negara Eropa, di tahun 1639 shogunate
mengusir pedagang Spanyol dan Portugis dan misionaris (pendakwah Kristen) dan
melarang seluruh segala bentuk perjalanan keluar. Sanksi dengan Eropa tidak
terkecuali bagi pos perdagangan Belanda di Nagasaki, dan bahkan dibatasi dengan
pengasingan kekristenan yang ketat. Dengan tindakan
pengasingan tersebut, Jepang berhasil memisahkan diri dari negara-negara Barat
selama 200 tahun. Namun, tidak berarti bahwa Jepang merupakan negara
yang tertutup. Jepang tetap menjaga hubungan diplomasi dan dagang dengan Korea
dan Ryukyu (pulau utama Okinawa) dan memperbolehkan pedagang Cina di Nagasaki. Meskipun Jepang memberlakukan larangan berdagang ke luar, hal
tersebut sebenarnya tidaklah ekslusif. Pada pertengahan abad ke-17, Shogun
menerbitkan red-sealed patent pada beberapa kapal yang memungkinkan pedagang
untuk keluar. Lebih dari 350 kapal berlayar ke luar negeri menggunakan sistem
tersebut dan berlayar hingga ke India dan Vietnam. Mereka mengekspor logam
mulia seperti tembaga dan perak, serta mengimpor sutra dan rempah-rempah.
Teori Neo-Confucian yang
mendominasi Jepang selama era Tokugawa hanya mengakui empat kelas sosial:
samurai, perajin, petani, dan pedagang, dan mobilitas antara empat kelas
tersebut dilarang.
Di era tersebut, ekonomi tumbuh
secara signifikan. Selain penekanan pada produksi agrikultur (tanaman pokok
beras, minyak wijen, indigo, tebu, mulberry, tembakau, dan kapas), perdagangan
dan industri pabrik juga berkembang. Budaya pekotaan yang muncul berpusat di
Kyoto, Osaka, dan Edo.
Terlepas dari isolasi yang
dilakukan, budaya nasional berkembang. Urbanisasi yang terjadi juga
memungkinkan katalis dari pengembangan baru budaya massa di kota Edo dan Osaka.
Masyarakat kelas menengah memiliki kesempatan dan waktu untuk mengikuti
kegiatan budaya seperti teater (kabuki), seni dan literatur, geisha, musisi,
aktor, sumo, dan puisi.
(Note: artikel ini awalnya ditujukan untuk La Ode Ilham Gafur, untuk membantu sedikit tugasnya. Karena pembahasan tentang Tokugawa cukup menarik, gue putusin untuk masukin ke blog ini).
Komentar
Posting Komentar